Tahun 1987 aku dibawa ibuku ke rumah nenek di Nganjuk, saat suasana yang menyenangkan dapat melihat hasil kebun yang melimpah, salah satunya ada beberapa pohon kelapa yang tumbuh dalam pekarangan rumah nenekku. Nenek hidup tidak sendiri, walaupun kakek sudah meninggal karena jatuh saat menaiki pohon kelapanya sendiri, ia ditemani anak terakhirnya yaitu om Gun yang bekerja sebagai guru Negeri yang menikah dengan orang Kediri yang dibesarkan oleh saudaranya di Kediri juga padahal orangtuanya tinggal di Lampung. Hmm... Om ku ini baru sekali berkunjung ke Lampung dan sempat mampir ke rumah tahun 1997 waktu anaknya baru satu, tapi sekarang sudah tiga dan aku belum pernah bertemu dengan anak ke tiganya.
Aku yang sempat merayu nenek untuk dibelikan sepatu baru saat ku diajak ke pasar. “Nek, aku suka sekali sepatu itu, boleh beli ngga’?”, nenekku tersenyum melihat cucunya ini memohon. Tak lama setelah kami pulang, nenek meminta untuk orang dan membayarnya untuk dipetikkan banyak buah kelapa yang belum terlihat matang.
Nenek memanggil becak untuk mengangkut buah kelapa yang sudah terpetik itu dan ternyata banyak sekali sampai aku diajak duduk nenek dalam pangkuannya untuk ikut menjual di pasar.
Sampai juga saat kumemilih sepatu kesukaanku yang manis dan sangat berharga sekali saat kuingat. Sepatu itu warnanya putih.
“Bu, pak, aku pakai sepatu baru, senangnya dibelikan nenek tadi siang”, ke dua orang tuaku sangat gembira melihat ku memakainya. “Lain kali, kamu nda’ boleh meminta nenek untuk minta dibelikan sepatu atau yang lainnya ya!”, sambil tersenyum bapakku pun mengusap kepalaku. “Iya pak, aku janji tidak minta dibelikan nenek lagi” kumenjawab dan langsung ke pekarangan depan rumah untuk berlari dan menari – nari memakai sepatu baru ini. Ibuku hanya tersenyum melihatku gembira.
#Diambil dari kisah nyata penulis, namun nama – nama yang tercantum sudah di ganti sesuai dengan keinginan penulis... Maklum baru belajar untuk membuat cerpen yang bisa kita ambil makna kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar